Selamat Datang

Rabu, 30 Juni 2010

ORIENTASI



Akhir-akhir ini kata-kata orientasi menjadi bahan permenungan dan menjadi sumber pertanyaan yang memenuhi otakku. Situasi ini bermula dari pengalamanku mengurus surat di salah satu kelurahan. Dan itu bukan pertama kalinya aku mengalami situasi yang seperti itu. Bahkan hal yang serupa pun aku alami di lembaga-lembaga atau institusi keagamaan. Mungkin dalam kasus ini, baik di instansi pemerintahan maupun keagamaan kita tidak boleh menyamaratakan bahwa di semua institusi atau instansi yang ‘bermerek’ demikian kita akan menjumpai hal serupa. Mungkin, apa yang saya alami adalah suatu kebetulan semata. Tetapi mungkin meskipun itu kebetulan, realitas itu dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua.

Karena mungkin itu hanya sebuah kebetulan, kita andaikan situasi tersebut diciptakan oleh ‘oknum-oknum’ pemimpin pemerintahan dan ‘oknum’ pemimpin keagamaan. Sebenarnya peristiwa apa yang aku alami? Sebenarnya peristiwa biasa saja, yang dimanapun kita jumpai. Kita bisa jumpai itu di toko kelontong, maupun di hotel berbintang. Hal itu adalah pelayanan. Di toko kelontong atau di hotel berbintang, kita akan menemukan hal itu dan seharusnya juga di lembaga pemerintahan maupun di lembaga-lembaga keagamaan. Intinya di sini mungkin tentang siapa, mengapa, apa, bagaimana dan di mana. Tentu semua hal bisa kita kaitkan, tetapi satu hal yang penting adalah ORIENTASI. Siapa pun kita, apa pun jabatan kita dan di mana pun kita berada, orientasi kita harus tetap kita arahkan pada kata PELAYANAN. Itu kan yang sering kita dengar. Menjadi seorang pemimpin berarti menjadi pelayan masyarakat, pelayan bagi banyak orang, baik pemimpin di lembaga Negara maupun di lembaga yang lain, apa lagi lembaga keagamaan.

Tetapi mengapa pengalaman di atas saya alami dan mungkin juga saudara dan anda sekalian pernah mengalami hal yang sama. Apakah ORIENTASI ‘pejabat’ kita sudah lain? Apakah keberadaan mereka bukan untuk kepentingan bersama? Apakah kehadiran mereka bukan sebagai wakil kita? Mereka ada untuk siapa? Apakah kesepakatan yang dulu pernah ada, yang dirintis oleh pedahulu-pendahulu kita dengan darah dan air mata, kita lupakan begitu saja. Kita takut untuk kembali ke masa lalu karena ‘dunia’ sekarang ini memang begitu. Dunia ini sudah gila, jika kita tidak mengikutinya maka kita rugi sendiri. Apakah statement semacam itu dapat kita benarkan? Saya rasa tidak. Kita harus berani mentang arus. Hal itu sudah dibuktikan oleh tokoh-tokoh reformator kita. Keegoisan dan cinta diri sudah ada sejak jaman Yesus lahir di dunia. Ia hadir ke dunia untuk member contoh, teladan kepada kita, tetapi apakah itu kita sadari.

Di dunia ini kita banyak belajar, tentang agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan lain sebagainya. Itu semua hanyalah sarana untuk membantu hidup kita dan mengarahkan hidup kita pada satu tujuan yakni KEHIDUPAN ABADI. Saya rasa orientasi hidup semacam ini tetap berlaku sampai kapan pun. Hanya pertanyaan bagi kita sekalian, apakah kita mau menjadikan orintasi itu sebagai orintasi dalam hidup kita? Sebagai apa pun kita, siapa pun kita, di mana pun kita, sekiranya hal yang sama yang kita perjuangkan sehingga pertanyaan di atas pun berlaku bagi kita semua dan itu sangat tergantung pada PILIHAN dalam hidup kita. Kita mau menggunakan SARANA tersebut, atau justru sebaliknya kita gunakan SARANA tersebut sebagai TUJUAN hidup kita. Mari kita bermenung?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar