Selamat Datang

Minggu, 06 Juni 2010

“Ada apa dengan ‘DUNIA PENDIDIKAN’ kita…”



Jules Michelet, sejarawan terkenal berkebangsaan Perancis yang hidup pada abad ke-19 pernah berkata, “ Apa bagian pertama dari politik? Pendidikan. Bagian keduanya? Pendidikan. Dan yang ketiga? Pendidikan”. Lebih dari seratus tahun kemudian hal serupa kembali diungkapkan oleh Tony Blair, Perdana Menteri Inggris pada periode 1997-2007, “Tanyakan kepada saya tiga prioritas utama pemerintah, dan akan saya katakan: pendidikan, pendidikan, dan pendidikan”. (Mezak A. Ratag & Ronald Korompis, Kurikulum Berbasis Kehidupan. Pandangan tentang Pendidikan menurut Ronald Korompis (Bandung: ITB Press, 2009), hlm. 1.

Dua pernyataan tokoh di atas mungkin bisa kita iyakan atau kita tolak, tetapi sejauh pengalaman saya apa yang diungkapkan di atas adalah benar. Namun kita dapat bertanya lebih dalam lagi, pendidikan yang seperti apa dulu? Itu benar, kita bisa dan boleh bertanya demikian, tetapi pendidikan yang dimaksud pasti kurang lebihnya sama dengan yang kita pahami dan mengerti. Pendidikan adalah sarana bagi kita untuk berproses menjadikan diri kita semakin mampu mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri kita, baik secara fisik, psikis, emosi dan secara spiritual. Saya merasa itulah tujuan pendidikan. Jika kita pernah dengar filosofi orang Minahasa Si Tou Timou Tumou Tou, itulah hakikat dari pendidikan. Memanusiakan manusia. Kata yang sangat singkat itu sungguh punya makna yang dalam, memanusiakan manusia. Mungkin dari pernyataan itu pun kita bisa bertanya manusia yang bagaimana dan seperti apa? Pertanyaan yang mungkin bisa kita jawab tetapi juga mungkin sulit untuk kita jawab. Setiap orang yang memiliki latar belakang yang berbeda karakter, watak, sifat; beda budaya, suku; berbeda generasi, jaman, dan lain sebagianya; pasti mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Jika yang di tanya itu orang di era 70-an dan kemudian berasal dari suku Jawa misalnya, mungkin ia akan menjawab bahwa manusia menjadi semakin manusia jika dia punya tata krama, sopan santun, unggah ungguh dan lain sebagainya. Dan jawaban yang berbeda pasti akan diberikan oleh orang yang hidup di era 2000-an. Entah apa pun pernyataan atau pengertiannya mungkin kita bisa sepakat bahwa maksud atau tujuan dari memanusiakan manusia itu adalah menjadikan manusia atau hidup manusia semakin baik dan benar. Jika hanya ‘baik’ mungkin kita bisa bertanya lagi baik menurut siapa, karena kebaikan itu juga relative. Tapi benar atau kebenaran adalah mutlak.

Pendidikan juga hendaknya didasarkan pada kebaikan dan kebenaran. Apa yang kita ajarkan, yang kita bagikan, yang kita tunjukkan adalah kebenaran semata. Kebenaran bukan ‘hanya’ dalam tataran konsep tetapi kebenaran konkrit yang kita tunjukkan dalam sikap, tindakan, perkataan dan kehidupan kita sendiri. Keteladanan hidup menjadi tuntutan. Hal ini tentu tidak asing ditelinga kita, karena kita sering mendengar kata ‘GuRu’, di GUgu (dipercaya) dan di tiRU (dicontoh;diteladani). Ini mungkin slogan yang akrap ditelinga kita tapi tidak akrap di mata kita. Apakah ini juga yang menjadi alasan mengapa pertanyaan di atas muncul? Ada apa dengan dunia pendidikan kita? Mungkin menjadi salah satu aspek iya, tetapi tentu bukan hanya itu. Pada tanggal 31 Mei 2010 yang lalu, saya bersama karyawan-karyawati Yayasan Pendidikan Lokon mengadakan pertemuan rutin dengan Ketua Umum Yayasan Pendidikan Lokon. Salah satu topik pertemuan itu adalah rencana untuk membangun Sekolah Menengah Pertama (SMP). Gagasan atau topik itu sudah tidak asing lagi bagi kami, karena itu juga menjadi cita-cita kami Yayasan Pendidikan Lokon yakni membangun pendidikan berjenjang dari Pra TK, TK, SD, SMP dan SMA. Hal yang menarik bagi saya, yang diungkapkan oleh Bapak Ronald Korompis selaku Ketua Umum YPL adalah analisa Beliau tentang pertanyaan, sebenarnya pendidikan di Indonesia ini salahnya di mana? Jika ditinjau dari Tata Negara kita adalah Negara terkaya kedua setelah Brazil; setiap tahunnya kita menelorkan S1, S2 dan S3 ratusan bahkan mungkin jutaan. Tetapi setelah 64 tahun Negara kita tetap menjadi Negara miskin. Bagaimana tidak, ketika seseorang memperoleh jabatan dan kedudukan, entah dia S1, S2 dan S3 baik dari Perguruan tinggi dalam maupun luar negeri, mereka lupa akan tujuan bersama (bonum commune) dan mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang egois. Ada apa dengan pendidikan kita? Kesalahan pendidikan kita bukan terletak pada Perguruan Tinggi, tetapi terletak pada pendidikan dasar dan menengah. Mengapa? Karena di sanalah pembangunan karakter, ahklak, moral, spiritual dan semuanya ditanamkan. Pendidikan integral holistik (pendidikan yang memberi perhatian pada seluruh aspek kemanusiaan, kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual) adalah mutlak.

Jika demikian mungkin kita bisa melihat atau membandingkan dengan realitas pendidikan kita sekarang ini. Pendidikan dasar dan menengah kita apakah sudah memberi penekanan pada keseluruhan aspek dari kehidupan manusia. Ketika lulus Ujian Negara (UN) menjadi tolak ukur keberhasilan dari siswa-siswi, apakah pendidikan yang demikian yang kita cari dan kita pilih sebagai sarana ‘memanusiakan manusia’? Ini menjadi Pekerjaan Rumah kita bersama. Mari kita benahi pendidikan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar