Selamat Datang

Rabu, 09 Juni 2010

KORUPSI bahaya LATEN



KORUPSI BAHAYA LATEN…..itu mungkin bukan hanya ungkapan lepas saja. Ketika kita mendengarkan, melihat dan membaca media masa yang beredar di sekitar kita, baik yang level nasional maupun lokal, kita akan menemukan dan menyaksikan bagaimana negara kita dipenuhi oleh “orang-orang” yang gila kekuasaan, jabatan dan harta. Dengan kedok ‘pangkat’ dan ‘jabatan’ mereka dengan tanpa malu-malu ‘memperkaya’ diri dan ‘mengagungkan’ diri. Apakah ada yang salah dengan realitas ini? Tentu ya! Tapi salahnya dimana dan separah apa? Mungkin akan muncul banyak sekali pendapat, tetapi menurut saya, sekali lagi menurut saya itu terjadi bukan hanya pada para pejabat dan pembesar negara kita. Korupsi itu sudah menjamur dan seolah-olah menjadi ‘budaya’ bangsa kita. Mengapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita tidak usah jauh-jauh dari lingkungan yang akrap dengan diri kita. Lingkungan sekolah. UAS atau UAN itu bukan istilah asing buat kita, dan seandainya di UAS atau pun di UAN itu ada kebocoran soal dan lain sebagainya itu juga bukan ‘sesuatu yang asing’ di telinga kita. Ini yang menjadi akar bertumbuhkembangnya KORUPSI di negara kita. Pendidikan yang ‘HANYA’ mengagung-agungkan intelektual. Kesuksesan siswa dan peserta didik hanya di ukur dari angka yang diperoleh di raport, nem dan ijasah. Oleh sebab itu, agar prestise dan nama baik sekolah terjaga indah dan megah, tanpa malu-malu ‘INSTITUSI PENDIDIKAN’ mengajarkan/menyajikan sesuatu yang tidak ‘LAYAK’ ada dalam ‘DUNIA PENDIDIKAN’. Mungkin kita lupa kalau pernah membaca, atau melupakannya, bahwa pendidikan itu bukan hanya IQ semata yang menjadi penting, tetapi EQ, SQ juga mutlak harus diajarkan.

Sekedar sharing pengalaman, dulu saat saya mengenyam pendidikan di bangku SD, SMP kebiasaan nyontek itu tidak ada, tetapi ketika aku duduk di bangku STM, saat itulah kebiasaan nyontekku lahir dan berkembang. Tapi syukur ketika aku masuk seminari kebiasan itu hilang hingga hari ini. Saya belajar apa dengan pengalaman itu? Ternyata menyontek itu SANGAT merugikan saya. Mengapa? Pertama, ketika saya memiliki kebiasan menyontek, saya kehilangan kepercayaan diri saya. Saya menjadi tidak percaya diri, meskipun mungkin soal itu saya tau jawabannya tapi tidak ada keberanian untuk menuliskannya dan harus melihat rujukan dari buku alias ‘contekan’. Kedua saya memiliki ketergantungan pada sesuatu yang ada di luar diri saya. Rasa aman dan nyaman bukan ada dan tercipta dari dalam diri tetapi dari luar diri saya, yakni catatan dan lain sebagainnya. Ketika, saya kehilangan motivasi dan inovasi dalam belajar. Kreatifitas beku dan pikiran buntu. Masih banyak lagi kerugian yang saya alami karena kebiasaan mencontek itu. Dan saya yakin, hal demikian sangat berpengaruh dengan karakter dan mentalitas kita. Pendidikan yang kita peroleh dan kebiasaan-kebiasaan itu memiliki dampak yang begitu besar dalam diri kita. Pertanyaan buat kita, apakah kita mau berproses dan mengolahnya. Atau kita justru menikmatinya, sehingga tidak heran sepintar apa pun orang itu, setenar apa pun dan sekaya apa pun, ketika seseorang diberi kekuasaan, jabatan dan ‘kesempatan’ orang lupa akan visi, misinya. Dan yang ada hanyalah dirinya dan keegoisannya. Itu mungkin, hanya akibat dari salah satu kebiasaan buruk masa lalu misalnya kebiasaan ‘nyontek’ bagaimana jika kita melihat lebih jauh dengan kebiasan ‘jual-beli nilai; ijasah; dan gelar?’ Mungkin kita sudah bisa membayangkannya……………..

Dalam buku A Road Map to Education, The Cre-Act Way; Suster Dorothy Prokes menekankan beberapa hal penting yang harus ada dalam dunia pendidikan. Beberapa hal tersebut adalah Self Image; Membangun “peran”; Child Center; dan mengajarkan kepada anak-anak bagaimana mereka harus belajar. Berkaitan dengan fenomena di atas, tentu image public sangat berpengaruh bagi pertumbuhan generasi kita. Ketika hiruk-pikuk dan keramaian orang-orang dewasa yang memperebutkan kursi dan jabatan, kemudian di sisi lain kita akan menyadarkan ‘peran’ peserta didik bahwa semua dari kita punya peran yang sama. Sebagai petani, pedagang, wirausaha dan lain sebagainya. Ketika gengsi, prestise diukur dari seberapa banyak kekayaan atau materi yang tampak. Realitas demikian menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan kita. Menciptakan generasi-generasi yang menyukai sains, menciptakan penemuan-penemuan, riset-riset dan lain sebagainya. Generasi yang tercipta kebanyakan “hanya” mencari “gelar” di belakang namanya atau di depan nama indah mereka Dr, Profesor, Ir, M.Pd, SE.Ak dan lain sebagainya. Dengan embel-embel di depan nama atau di belakang nama itulah orang akan dihargai perkataanya, tenaganya, atau secara kasar orang akan dihargai dengan “uang” karena embel-embel itu. Tentu itu realitas yang wajar, menjadi tidak wajar ketika hal itu justru menjadi satu-satunya tolak ukur dan melupakan esensi yang sesunggunya.

Siapa pun kita, saya dan anda mungkin terlibat di dalam terciptanya realitas yang menimpa bangsa kita. Lalu bagaimana cara kita untuk merubah atau bahkan mengubah realitas tersebut. Mari kita berangan-angan, berandai-andai dan bercita-cita agar dunia kita, terutama Negara kita, daerah kita, keluarga kita dapat berubah. Tetapi semuanya itu hanya akan menjadi sebuah harapan, suatu angan-angan, dan sebuah cita-cita ketika kita tidak berani memulai perubahan itu dari diri kita sendiri. Mari berjuang……………………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar