Selamat Datang

Rabu, 07 Juli 2010

CINTA Yudas Iskariot




Atas salah satu cara setiap pribadi memiliki perbedaan dalam mengungkapkan atau pun memaknai cinta terhadap seseorang, entah itu lawan jenis yang ia sayangi dan cintai atau public vigor yang ia dambakan dan idolakan.
Yudas Iskariot sebagai contohnya. Ia sebagai murid Yesus yang termasuk dalam kalangan 12 rasul pasti tidak dapat kita ragukan lagi cinta dan kasihnya kepada sosok Yesus. Pribadi yang menarik, penolong, rendah hati, sabar, pemaaf dan lain sebagainya. Intinya dia adalah pribadi yang sempurna dan kehadiran-Nya memberikan rasa damai dan suka cita kepada setiap orang. Saya yakin Yudas sangat mencintai Yesus. Tetapi kalo dia mencintai Yesus, mengapa dia menyerahkan kepada tua-tua bangsa Yahudi? Tentu banyak ragam, tafsiran dan analisa yang bisa kita berikan terhadap pertanyaan tersebut.
Sedikit sharing saya berkaitan dengan pertanyaan di atas. Akhir-akhir ini saya punya pengalaman tentang cinta yang ketika saya renungkan, dalami, dan refleksikan pengalaman itu langsung membawa saya pada pengalaman Yesus ketika Ia dihianati oleh salah satu muridnya sendiri yang telah hidup sama-sama selama 3 tahun. Yudas mencintai Yesus dan tentu rasa cinta itu di dasari atas pengalaman dan pemahamannya tentang cinta itu secara personal. Cinta yang mendatangkan kebahagiaan, kegembiraan, kedamaian, suka cita dan lain sebagainya. Ketika Yesus diserahkan oleh Yudas apakah dengan tujuan itu. Ketika saya renungkan ia, karena Yudas menjual Yesus dengan tujuan. Pertama sebagai bendahara ia akan mendapat uang; kedua, setelah mendapat uang ia yakin bahwa Yesus yang berkuasa atas orang hidup dan mati akan dengan mudah melawan orang-orang Farisi dan Yahudi tersebut sehingga dalam pikirannya pasti Yesus akan melawan dan tidak akan mendapatkan bahaya; ketiga, setelah Yesus melawan maka ia akan di agung-agungkan sebagai raja pembela kebajikan dan kebenaran; dan keempat setelah Dia menjadi raja, maka Yudas yang termasuk dalam kalangan 12 akan mendapatkan kedudukan yang layak di kalangan masyarakat.
Dalam permenungan saya itulah cinta yang mendasari dan menjadi pokok tindakan Yudas mengapa ia menyerahkan Yesus. Ia bukan jahat, ia tidak membenci Yesus, ia sangat mencintai Yesus. Kemudian kata cinta ini yang menarik dibenak saya untuk direnungkan. Jika kita melihat pernyataan di atas dan dikaitkan dengan tindakan Yudas maka kita bisa simpulkan sebenarnya cinta Yudas terhadap Yesus adalah cinta Yudas terhadap dirinya sendiri. Apa yang menjadi tujuan dan angan-angan hidupnya adalah sarana untuk kemuliaan dirinya.
Ini menarik untuk kita amati karena dalam kehidupan kita, kita akan temukan banyak cinta yang sebenarnya sama penghayatannya dengan Yudas. Banyak di sekeliling kita yang memiliki sikap yang sama dengan Yudas dan dengan demikian saat inipun kita banyak menemukan dan menjumpai Yudas-yudas masa kini dan tidak bisa disangkal juga diri kita sendiri pun termasuk salah satunya. Kita sering mencintai seseorang tetapi jika kita jujur sebenarnya sikap itu didasarkan atas keinginan diri kita dan tujuan pribadi kita. Misalnya orang tua yang mencintai anaknya dengan memaksakan kehendaknya. Mereka bilang demi kebahagiaan anaknya. Tetapi sikap itu atau pernyataan itu sama sekali tidka pernah ia tanyakan kepada anaknya sendiri, apakah kamu bahagia, bagaimana kami harus bersikap agar kamu bahagia. Semua hal yang dianggap membahagiakan seseorang tidak pernah kita komunikasikan dengan pribadi yang bersangkutan tetapi kita komunikasikan dan selaraskan dengan apa yang baik dan membahagiakan bagi kita secara priubadi. Kalau menurut pribadi kita itu baik itu pasti baik bagi yang lain. Tetapi kita lupa apakah orang lain itu bahagia dan senang dengan semuanya itu.
Yudas persis melakukan hal yang demikian. Ia melakukan tindakan yang bagi dia adalah sebuah hal yang baru dan spektakuler. Ia akan menjadikan Yesus sebagai raja dan di agung-agungkan oleh banyak orang. Mereka akan terpandang dan terhormat di mata masyarakat dan semua orang. Gengsi dan prestise mereka pun di mata masyarakat akan naik. Hal yang sama juga mungkin menjadi dasar keluarga atau orang tua yang memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Misalnya dalam pernikahan, biasanya dalam pernikahan yang paling berperan adalah pihak orang tua. Mereka menuntut ini itu dan harus begini dan begitu. Semua itu mereka buat demi kebahagiaan anaknya, tetapi apakah pertanyaan dasarnya pernah dikomunikasikan. Apakah kalian bahagia dengan hal-hal seperti ini? Sering itu tidak dibuat. Semua hal yang dibuat karena gengsi dan prestise keluarga dan orang tua di mata masyarakat dan sesama. Hal yang paling dasar kita lupakan, apakah di mata Tuhan hal itu berkenan? Tetapi sekali lagi, seperti peristiwa yang di alami Yesus, kita sebagai pengikut dan yang beriman kepadanya, kita tau bahwa semua itu adalah sesuatu sarana dan jalan bagi kita untuk memperoleh sesuatu yang lebih besar. Itulah misteri salib. Kita tidak akan bisa merasakan kebahagiaan ketika kita tidak bisa merasakan penderitaan. Dalam penderitaan dan kepedihan itulah mengalir kebahagiaan. Ada rencana indah yang Tuhan inginkan dalam kehidupan kita. Apakah kita peka untuk mendengarkan Dia dan setia untuk berjalan bersama-Nya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar