Selamat Datang

Selasa, 31 Agustus 2010

Belajar dari buku Dorothy Prokes




Dalam buku Dorothy Prokes yang berjudul A Road Map to Education. The Cry-Act Way. setidaknya ada 4 gagasan pokok yang bisa kita pelajari. Pertama berkaitan dengan Tugas dan fungsi pokok/utama kita dalam menjalankan persekolahan atau dalam proses pembelajaran yakni MEMBANGUN IMAGE dalam diri peserta didik. (Cf; Kehidupan kita sebagai seorang kristiani, kita diberikan teladan bagi kesempurnaan hidup kita yakni Yesus yang adalah Tuhan yang terlahir di dunia. Kehadiran Yesus diharapkan mampu MEMBANGUN IMAGE dalam diri kita, bagaimana seharusnya kita hidup agar kita juga dapat mencapai kesempurnaan hidup. Tentu kita tidak akan pernah menjadi seperti Yesus, tetapi setidaknya kita mampu menghidupi, melaksanakan dan memegang prinsip-prinsip hidup, kebijaksanaan, kerendahaan hati dan lain sebagainya dari kehidupan Yesus).
Selain membangun image dalam diri peserta didik, kita juga harus mampu MENYADARKAN PERAN masing-masing dari mereka. Ini adalah gagasan pokok yang kedua. (Cf. Kehidupan kita sebagai orang-orang kristiani, kita disadarkan oleh Yesus yang adalah Tuhan kita, bahwa masing-masing dari kita memiliki peran yang penting dalam kesatuan anggota Tubuh Kristus. Sebagai anggota Tubuh Kristus, kita bisa menjadi telinga, hidung, mata, kaki, sel pembuluh darah, urat dan lain sebagainya. Dalam proses pembelajaran kita diharapkan mampu mengenal peran dari masing-masing peserta didik dalam ‘kehidupan’ ini dan mampu pula menyadarkan peserta didik untuk menyadari peran tersebut.
Gagasan pokok yang ketiga adalah dalam proses pembelajaran, masing-masing pribadi dari peserta bina adalah fokus atau titik tolak dari proses itu sendiri ‘CHILD CENTER’. Guru bukanlah pusat atau segala-galanya dalam proses pembelajaran dan itu yang sering terjadi dalam dunia pendidikan kita. Guru menjadi sumber pengetahuan, sumber kebenaran dan seterusnya. Hal itu tentu tidak salah, tetapi jika hal itu kemudian dimutlakkan dan hanya satu-satunya acuan, ini yang keluar jalur. Peserta didik dengan latar belakang dan potensi yang berbeda-beda harus dikenal secara personal dan akhirnya dikembangkan sesuai dengan apa yang ada dalam diri mereka. Kehebatan seorang guru bukan hanya dalam bidang mata pelajarannya, tetapi bagaimana ia memiliki kepekaan, insting, pengenalan kepada tiap peserta didik dan akhirnya mampu mengarahkan dan mengembangkan tiap peserta didik sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka masing-masing. Itulah keberhasilan dari sebuah proses pendidikan.
Keempat, prioritas pembelajaran bukan bertujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan dan pemahaman sebanyak-banyaknya, tetapi prioritas pembelajaran kita harus bertujuan bagaimana peserta didik dapat belajar untuk memperoleh pelajaran/pengetahuan, BELAJAR BAGAIMANA MEREKA HARUS BELAJAR.


Relefansi konsep dasar dari buku A Road Map to Education dalam proses pembelajaran di Indonesia
Gagasan atau ide dalam buku A Road Map to Education menjadi gambaran ideal dari sebuah proses pembelajaran, maka sangat baik jika gagasan tersebut diadopsi dan diterapkan dalam proses pembelajaran di Indonesia. Namun sebelum kita menerapkan atau mengadopsi gagasan tersebut, mungkin ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dan menjadi bahan permenungan, sehingga apa yang nantinya kita buat bukan hanya sekedar konsep dan akhirnya berhenti di tengah jalan atau seandainya pun jalan itu pada tataran konsep dan esensi dari gagasan tersebut tidak tersentuh. Jika kita merujuk ke konsep tersebut dan melihat realitas yang ada dalam proses pembelajaran lokal di daerah kita, maka apa yang dapat kita katakan.
Self image : Tantangan yang berat bagi pendidikan kita. Mengapa demikian, karena unsur yang utama atau kunci dalam proses pembelajaran tersebut adalah MEMBANGUN IMAGE dalam diri peserta didik. Membangun image di Indonesia menjadi sulit karena ada beberapa faktor. Pertama faktor keluarga. Keluarga adalah sekolah awal bagi masing-masing individu untuk bersosialisasi, beradaptasi, berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain. Oleh karena itu keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembentukan image bagi anak-anak. Keluarga mengawali membangun image anak dengan budaya persaingan, saling menjatuhkan demi suatu kedudukan/posisi tertentu. Kedudukan, jabatan dan penghormatan dari orang lain menjadi prioritas dalam hidup dan menjadi kebanggaan tersendiri. Kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup dibangun atau diukur hanya berdasarkan hal-hal luaran dari diri kita dan hakikat terdalam dari dalam diri kita tidak pernah mendapat perhatian. Pendidikan di sekolah seolah-olah lepas dan berbeda dengan pendidikan dalam keluarga. Pendidikan tidak berjalan selaras antara pendidikan formal dengan pendidikan non formal. Kedua adalah masyarakat. Masyarakat adalah sebuah kelompok yang terdiri dari keluarga-keluarga yang membangun sistim hidup bersama berdasarkan kesepakatan-kesepakatan. Oleh karena itu hal-hal yang mempengaruhi pembentukan image dalam diri anak kurang lebih sama dengan apa yang dihasilkan oleh keluarga-keluarga. Namun yang menjadi beda adalah efek lebihnya. Ketika anak-anak mendapatkan gambaran dari keluarganya, anak belum tau pasti apakah itu benar atau salah. Ketika ia keluar dan mulai bersosialisasi dengan masyarakat dan menemukan hal yang sama dengan apa yang ia dapat di keluarganya, maka ia akan menarik kesimpulan bahwa apa yang ia dapat dan ketahui adalah benar. Bahwa materi dan jabatan adalah segala-galanya adalah benar. Ketiga adalah peran media massa. Media massa turut berperan besar dalam pembangunan image anak-anak. Ketika mereka menyaksikan bahwa di media massa pun realitasnya sama dengan apa yang ia dapat di keluarga dan masyarakat, maka semakin yakinlah ia dengan apa yang ia peroleh sebagai suatu kebenaran. Keempat adalah pemerintah. Pemerintah adalah otoritas yang dipercaya oleh masyarakat untuk memberi arah bagi kelangsungan hidup bersama (bonum commune). Pemerintah juga turut ambil peran dalam pembangunan image dari anak-anak. Pemerintahan dengan segala kelebihannya tentu, selalu memberi penghargaan kepada orang-orang atau putra atau putri bangsa yang telah mengharumkan nama bangsa kita. Namun itu ternyata tidaklah sepenuhnya tepat. Pemerintah memberikan penghargaan dan penghormatan yang sangat tinggi kepada mereka yang sukses atau berhasil menjadi pejabat atau seorang konglomerat. Ketika anak negri menjadi pejabat baik dipusat maupun di daerah atau menjadi seorang konglomerat, maka penghargaan itu sungguh luar biasa. Tetapi apakah pemerintah juga memberi penghargaan dan penghormatan kepada putra-putri bangsa yang juga telah mengharumkan nama bangsa ini dengan penemuan ilmu pengetahuan, kejuaraan ilmu pengetahuan, olimpiade, dan lain sebagainya? Mentalitas dan cara kerja dari pemerintah yang korup, suka bolos, tidak disiplin dan lain sebagainya menjadi tontonan bagi generasi penerus bangsa. Dengan image atau realitas yang ada, cita-cita apa yang akan digantungkan di pundak anak negeri?
Penyadaran peran: Penyadaran peran menjadi persoalan berat karena image yang telah dibangun oleh unsur-unsur di atas. Ketika setiap individu memimpikan materi dan jabatan, mengalami ketidak adilan karena status dan jabatan dan lain sebagainya maka dalam proses pembelajaranpun masing-masing individu akan sulit untuk disadarkan akan peran (talenta/potensi) mereka. Peran lain tidak menarik dan tidak berharga karena image yang dibangun. Hal itu sebenarnya riskan, karena motivasi dan cita-cita yang dibangun didasarkan pada apa yang ada di luar diri pribadi. Hal itu juga berlaku dalam proses pembelajaran. Ilmu pengetahuan berkembang pesat dari hari ke hari, jika kita hanya ingin juara kelas atau lulus di bidang-bidang tertentu dengan sempurna hal itu juga riskan, karena ilmu pengetahuan, teknologi berkembang sangat pesat dan ketika kita tidak memiliki mental yang siap maka kitapun akan hanyut terbawa oleh arus dan tiap individu teralienasi dengan dirinya sendiri. Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan perjalanan sang waktu, tetapi karakter, kepribadian dan potensi dalam diri tetap melekat kendati dunia berputar dan berubah-ubah dengan cepat. Di sini penting membangun pengetahuan dan mendampingi proses perkembangan dari masing-masing pribadi dari dalam atau hati.
‘Child center’: ketika tiap individu adalah sentral dari proses maka konsekuensi yang harus dihadapi memeng cukup besar. Pada poin kedua sedikit disinggung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu pesat, sehingga dalam proses pembelajaran yang kita buat bukan hanya mengikuti dan menguasai ilmu pengetahuan itu tetapi lebih dari itu. Proses pembelajaran harus bertumpu pada tiap pribadi yang terlibat di dalam proses itu. Tiap pribadi dituntut bukan hanya untuk mengikuti, mengejar dan menguasai perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi mereka harus diajak untuk belajar bagaimana mereka belajar memperoleh pengetahuan. Jadi fokusnya bukan pada pelajaran atau ilmu pengetahuan, tetapi fokusnya ada di dalam diri masing-masing pribadi. Jika demikian ada beberapa konsekuensi yang mengikutinya: pertama, tiap pribadi punya kelebihan dan kelemahan yang berbeda-beda dengan demikian cara dan metode pembelajaran tentu beda. Dengan demikian butuh banyak waktu, tenaga dan pikiran; kedua, ketika peserta didik menjadi fokus dan senter maka jumlah dalam masing-masing kelas harus kecil agar fokus dan perhatian tersebut dapat dilaksanakan dengan baik; ketiga, tenaga didik harus memiliki kemampuan lebih dalam mendampingi siswa, baik pengetahuan, tehnik pendampingan atau pengajaran serta kreatifitas.
Bukan belajar apa, tetapi bagaimana belajar: realitas yang ada disekitar kita adalah adanya penyimpangan dari proses pembelajaran. Budaya konsumerisme dan budaya instan telah turut serta dalam proses pembelajaran. Peserta didik diajarkan bukan bagaimana belajar dan bagaimana cara memperoleh pelajaran, tetapi mereka disuguhi trik-trik bagaimana agar mereka dapat menjawab soal-soal ujian dan lulus dengan nilai baik. Orientasi yang salah kaprah ini justru sering mendapatkan apresiasi yang luar biasa karena hasil ujian yang gemilang dan angka kelulusan yang spektakuler. Tetapi apakah kita pernah memikirkan masa depan mereka ketika mereka ada di bangku kuliah. Cara belajar dan proses pembelajaran yang telah mereka peroleh ternyata tidak membuat mereka mampu berjuang secara baik di tengah-tengah kehidupan kampus. Realitas tersebut menjadi tantangan bagi kita, karena tidak gampang mengubah orientasi yang selama ini ‘dianggap’ cemerlang.
Demikianlah sekilas pokok-pokok pemikiran Doroty Prokes dan relefansinya bagi dunia pendidikan kita di Indonesia ini. Gagasan dan ide pokok yang ada mungkin sangat mudah kita mengerti dan pahami, tetapi semuanya itu tidak gampang untuk kita terapkan. Mengubah arah dan tujuan dari sebuah pendidikan tidaklah gampang, terlebih jika semuanya itu sudah mendarah daging pada sebagian besar dari praktisi pendidikan. Jujur harus diakui bahwa mungkin anda dan saya adalah korban-korban dari system pendidikan yang sudah salah. Dan dengan kondisi itu kita ingin memperbaiki generasi kita dengan dasar dan pengetahuan yang salah itu? Tentu tidak. Mari kita berjuang untuk meningkatkan mutu pendidikan kita yang tentu harus kita mulai dari diri kita. Mengembangkan diri, memperkaya diri dan mengubah diri adalah kunci bagi sebuah kesuksesan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar