Selamat Datang

Rabu, 04 Agustus 2010



TUHAN apa sih “AGAMA”MU …?


Pertanyaan yang aneh tapi dalam. Pertanyaan ini mengingatkan kita akan berbagai permasalahan, konflik dan sejenisnya yang pernah terjadi di belahan dunia dan terutama di Negara kita Indonesia yang percaya dan mengakui secara penuh falsafah Bineka Tunggal Eka (berbeda-beda tetapi satu jua). Bangsa yang merdeka karena bahu membahu, bersatu dengan hanya mengandalkan bambu runcing. Bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan asas dasar PANCASILA serta kehidupan bersama yang dilandaskan dengan semangat guyup rukun dan gotong royong. Namun kini apa yang kita alami dan saksikan?

Jika kita belajar dari teori Darwin, manusia berasal dari monyet. Berdasarkan teori itu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dari hari ke hari manusia berproses semakin baik. Dari yang tidak pernah memakai baju sampai dengan memanfaatkan teknologi canggih seperti sekarang ini. Kita sering mengatakan bahwa itu yang disebut peradaban. Manusia dari hari ke hari semakin beradab. Benarkah itu? Apakah yang dimaksud dengan beradab? Mungkin tanpa merujuk kamus atau ensiklopedi kita bisa mengatakan demikian, bahwa beradab itu berarti bahwa manusia semakin menjadi manusia. Manusia tau tentang budaya, mengahargai budaya, menghargai diri sendiri dan sesamanya. Intinya orang meninggalkan kebiasaan barbar yang masih menganut prinsip Homo Homini Lupus (Manusia menjadi serigala bagi yang lain).

Aku hidup sebagai orang Indonesia yang telah berpindah-pindah tempat tinggal. Selama 21 tahun aku tinggal di daerah di mana aku dilahirkan yakni Propinsi Bandar Lampung. Di sinilah aku banyak belajar baik dari orang-orang di sekitarku ataupun lingkunganku. Memang aku terlahir di Lampung bukan sebagai suku asli, tetapi aku terlahir sebagai anak jawa. Tepatnya JaKaKeSuma, JAwa KElahiran SUMAtra. Karena situasi itu dan lingkunganku yang mayoritas Jawa akupun dibesarkan mirip dengan budaya yang ada di Jawa. Dari bahasa, tata krama dan lain sebagainya. Setelah menyelesaikan sekolah kejuruan aku bekerja satu tahun di Bandar Lampung dan setelah itu aku melanjutkan studiku di Palembang selama 2 tahun. Palembang adalah tempat kedua ku, tempat yang agak lama aku tinggali. Selama 2 tahun aku cukup banyak belajar dari kota yang termasuk kota besar di Negara kita ini. Kota empek-empek menghantar aku ke daerah Nyiur Melambai, Manado, Sulawesi utara. Tahun 2001 aku menginjakkan kakiku di Manado. Aku hidup di sana sampai hari ini, namun di sela-sela waktu itu aku sempat meninggalkan Manado dan harus menetap di daerah lain dan lumayan lama. Tahun 2002 sampai dengan 2003 aku tinggal di Karang Anyar, Kebumen, Jawa Tengah dan tahun 2006 sampai dengan pertengahan 2008 aku menetap di Kapencar, Wonosobo, Jawa Tengah. 2008 sampai hari ini akhirnya aku kembali menetap di Manado, Sulawesi Utara.

Pengalamanku berpindah-pindah tempat tinggal benar-benar memberikan penyadaran betapa bangsa kita sangat kaya akan keberagaman suku, budaya, agama dan lain sebagainya. Penyadaran itu menumbuhkan kebanggaan dalam diriku namun serentak juga memunculkan keprihatinanku yang cukup dalam. Kekayaan yang luar biasa itu telah tercoreng dengan berbagai hal dan peristiwa yang menorehkan luka yang amat dalam bagi generasi-generasi masa depan bangsa kita. Pertikaian antar suku, agama dan golongan menjadi bara api dalam sekam yang siap menyala kapan saja ketika “sang angin” berhembus dan meniup bara tersebut. Banyak tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh negara memberikan pandangan dan wejangan namun seolah-olah bangsa ini benar-benar buta dan tuli akan suatu kebenaran. Penderitaan, korban nyawa dan harta semuanya sama sekali tidak memiliki dampak yang besar bagi perubahan sikap dan pola pikir dari sebagian dari masyarakat kita.

Sebanarnya apa yang menjadi latar belakang dari semua peristiwa tersebut dan terlebih pola pikir dari sebagian besar bangsa kita yang rela mengorbankan harta mereka dan bahkan nyawa mereka bagi kepentingan golongan atau kelompok tertentu? Sikap fanatisme. Sikap ini saya rasa yang menjadi salah satu faktor dari semuanya ini. Fanatisme terhadap agama, terhadap golongan, kelompok, suku, clup. Sikap fanatisme yang tidak diimbangi dengan pengetahuan dan pendidikan yang cukup sehingga kebanyakan dari mereka berpikir sempit, masa bodoh, asal senang dan asal menang. Alangkah mudahnya sikap fanatisme kemudian berubah menjadi sikap anarkis karena tidak adanya pengetahuan dan pemahaman yang luas.

Berbagai cara dan usaha telah diupayakan oleh banyak pihak, tetapi toh semuanya itu masih terus menerus terjadi di belahan bumi ini. Jika kita mau sedikit diam dan bermenung mungkin kita bisa melihat betapa anehnya kita manusia. Apa yang kita renungkan, yang kita renungkan adalah pertanyaan di atas TUHAN apa sih agama-MU? TUHAN tidak beragama dan IA adalah Maha kuasa. Segala-galanya IA mampu ciptakan dan musnahkan. Berapa susahnya IA memusnahkan manusia jika DIA mau. Namun semuanya itu tidak IA lakukan. Kini siapakah kita yang menjadi hakim bagi yang lain. Tuhan yang memiliki kuasa penuh pun tidak seenaknya saja menghakimi kita manusia, apakah kita pantas menjadi hakim bagi yang lain? Mari bermenung….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar