Selamat Datang

Rabu, 30 Juni 2010

ORIENTASI



Akhir-akhir ini kata-kata orientasi menjadi bahan permenungan dan menjadi sumber pertanyaan yang memenuhi otakku. Situasi ini bermula dari pengalamanku mengurus surat di salah satu kelurahan. Dan itu bukan pertama kalinya aku mengalami situasi yang seperti itu. Bahkan hal yang serupa pun aku alami di lembaga-lembaga atau institusi keagamaan. Mungkin dalam kasus ini, baik di instansi pemerintahan maupun keagamaan kita tidak boleh menyamaratakan bahwa di semua institusi atau instansi yang ‘bermerek’ demikian kita akan menjumpai hal serupa. Mungkin, apa yang saya alami adalah suatu kebetulan semata. Tetapi mungkin meskipun itu kebetulan, realitas itu dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua.

Karena mungkin itu hanya sebuah kebetulan, kita andaikan situasi tersebut diciptakan oleh ‘oknum-oknum’ pemimpin pemerintahan dan ‘oknum’ pemimpin keagamaan. Sebenarnya peristiwa apa yang aku alami? Sebenarnya peristiwa biasa saja, yang dimanapun kita jumpai. Kita bisa jumpai itu di toko kelontong, maupun di hotel berbintang. Hal itu adalah pelayanan. Di toko kelontong atau di hotel berbintang, kita akan menemukan hal itu dan seharusnya juga di lembaga pemerintahan maupun di lembaga-lembaga keagamaan. Intinya di sini mungkin tentang siapa, mengapa, apa, bagaimana dan di mana. Tentu semua hal bisa kita kaitkan, tetapi satu hal yang penting adalah ORIENTASI. Siapa pun kita, apa pun jabatan kita dan di mana pun kita berada, orientasi kita harus tetap kita arahkan pada kata PELAYANAN. Itu kan yang sering kita dengar. Menjadi seorang pemimpin berarti menjadi pelayan masyarakat, pelayan bagi banyak orang, baik pemimpin di lembaga Negara maupun di lembaga yang lain, apa lagi lembaga keagamaan.

Tetapi mengapa pengalaman di atas saya alami dan mungkin juga saudara dan anda sekalian pernah mengalami hal yang sama. Apakah ORIENTASI ‘pejabat’ kita sudah lain? Apakah keberadaan mereka bukan untuk kepentingan bersama? Apakah kehadiran mereka bukan sebagai wakil kita? Mereka ada untuk siapa? Apakah kesepakatan yang dulu pernah ada, yang dirintis oleh pedahulu-pendahulu kita dengan darah dan air mata, kita lupakan begitu saja. Kita takut untuk kembali ke masa lalu karena ‘dunia’ sekarang ini memang begitu. Dunia ini sudah gila, jika kita tidak mengikutinya maka kita rugi sendiri. Apakah statement semacam itu dapat kita benarkan? Saya rasa tidak. Kita harus berani mentang arus. Hal itu sudah dibuktikan oleh tokoh-tokoh reformator kita. Keegoisan dan cinta diri sudah ada sejak jaman Yesus lahir di dunia. Ia hadir ke dunia untuk member contoh, teladan kepada kita, tetapi apakah itu kita sadari.

Di dunia ini kita banyak belajar, tentang agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan lain sebagainya. Itu semua hanyalah sarana untuk membantu hidup kita dan mengarahkan hidup kita pada satu tujuan yakni KEHIDUPAN ABADI. Saya rasa orientasi hidup semacam ini tetap berlaku sampai kapan pun. Hanya pertanyaan bagi kita sekalian, apakah kita mau menjadikan orintasi itu sebagai orintasi dalam hidup kita? Sebagai apa pun kita, siapa pun kita, di mana pun kita, sekiranya hal yang sama yang kita perjuangkan sehingga pertanyaan di atas pun berlaku bagi kita semua dan itu sangat tergantung pada PILIHAN dalam hidup kita. Kita mau menggunakan SARANA tersebut, atau justru sebaliknya kita gunakan SARANA tersebut sebagai TUJUAN hidup kita. Mari kita bermenung?

Rabu, 16 Juni 2010

Paradoks Kerendahan Hati




Paradoks kerendahan hati adalah kita harus memilikinya tanpa merasa memilikinya, karena ketika kita mengakui bahwa kita memilikinya saat itu jugalah kita mengakui bahwa kita tidak memilikinya. Kerendahan hati harus berada dalam hati nurani terdalam kita, tanpa bisa terdeteksi oleh kita sendiri, tetapi tampak jelas oleh orang lain. Jika kita memiliki barang atau sesuatu dan kita katakana bahwa kita memilikinya, berarti kita dapat dikatakan orang yang jujur, terbuka, apa adanya dan lain sebagainya. Tetapi hal ini berbeda dengan kerendahan hati, jika kita dengan terang-terangan katakana bahwa kita memilikinya, saat itu orang juga akan katakana bahwa anda adalah orang yang tidak rendah hati.
Orang yang rendah hati, tidak pernah mengungkapkan sesuatu yang ada di dalam dirinya demi sesuatu yang ada di luar dirinya. Artinya ia tulus di dalam segala hal. Ia tidak melakukan sesuatu demi suatu tujuan atau harapan yang dia “inginkan”. Ingin dihargai, dihormati, dimengerti, dicintai, dan lain sebagainya. Semuanya itu sebenarnya tidak perlu diungkapkan atau digembar-gemborkan , karena hal itu akan kita dapatkan dan peroleh secara otomatis ketika kita juga mampu menghargai, menghormati, mengerti, mencintai orang lain terlebih dahulu secara tulus dan apa adanya. Kita mencintai orang lain bukan dengan kata-kata kita, tetapi dengan sikap kita, hati kita dan seluruh diri kita. Sehingga, seperti paradox kerendahan hati di atas, ketika kita mengatakan mencintai orang lain secara tulus dan tidak perlu lagi diragukan semuanya itu, tetapi ketika orang lain tidak merasakan hal itu, cinta itu, maka cinta itu hanya kita miliki di dalam konsep kita, pikiran kita. Jika demikian, kita tidak akan mampu mencintai orang lain apa adanya. Kita tidak mampu memberikan cinta yang tulus kepada orang lain, karena cinta kita kepada orang lain hanya sebatas ide abstrak, yang sebenarnya bermuara pada diri kita sendiri.
Cinta itu nyata, konkrit, dapat dirasa, dialami dan dinikmati. Apakah kita sudah berada pada tahap itu? Mungkin belum dan bahkan masih jauh dari situ, tetapi kita semua ingin dan akan menuju ke sana. Kesempurnaan dan pembaharuan hidup adalah sesuatu yang jauh dari realitas kehidupan kita tetapi hal itu juga menjadi harapan bagi kita. Kesempurnaan adalah cita-cita dan panggilan bagi kita semua, sebagai apa pun kita dan siapa pun kita. Mari kita belajar mencintai dan member diri secara tulus kepada orang lain, karena ketika kita “member” maka kita akan “mendapatkan” dan ketika kita “mendapatkan” maka kita juga akan “kehilangan.

Label /Cap….




Dunia sekarang sungguh luar biasa. Dalam hitungan menit bahkan dalam hitungan detik, banyak hal berubah. Dunia hiburan, pendidikan, ekonomi, pertanian dan aspek-aspek kehidupan lain. Perubahan itu ternyata bukan hanya berlaku bagi barang-barang mati yang sebenarnya hanya menjadi “korban” dari kebijakan dan arogansi mahluk luar biasa yang namanya manusia. Namun ternyata perubahan itu berlaku juga bagi manusia yang sering kali menjadi subyek atau pelaku. Hari ini, mungkin ada manusia yang dielu-elukan dan diagung-agungkan karena kehebatannya, karena tindakannya atau karena apapun. Tapi dalam hitungan detik atau menit manusia yang baru saja dielu-elukan dan diagung-agungkan dapat kita temukan sedang terpuruk di sudut dunia yang gelap dan kumuh. Situasi tersebut ia alami karena “sesamanya” yang telah memberikan penilaian dan memperlakukannya demikian. Sesama diandaikan barang mati sehingga dapat dengan mudah saja berubah fungsi, arti dan nilai ketika sesamanya yang punya kuasa dan memiliki kepentingan terhadapnya, tidak lagi membutuhkannya. Kekuasaan menjadi sarana untuk menunjukkan arogansinya. Atau sesamanya tidak lagi memberikan kontribusi bagi manusia-manusia yang memiliki kuasa. Ketika harapan-harapan, idaman, cita-cita dan ide-ide brilian mereka tidak diindahkan, maka sesame pun harus dimusnahkan. Tindakan demikian dapat kita golongkan sebagai penghakiman. Suatu usaha penilaian secara subyektif yang berusaha dipatenkan dengan membuat “label/label”.
Sebenarnya siapakah kita, ketika kita memberikan “label-label” kepada sesama kita. Kita sebenarnya tidaklah layak untuk itu. Dia Sang Penguasa tak pernah meninggalkan kita dan senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada kita, tetapi mengapa kita manusia justru memperlihatkan arogansi kita, yang sebenarnya mempertontonkan kebodohan kita? Manusia lemah dan terbatas, itu yang selalu diungkapkan oleh kita, ketika sesama kita memberikan masukan, saran atau kritik. Perwujudan pembelaan diri yang sering kali adalah benteng yang semakin membuat diri kita kerdil dan tidak bertumbuh secara semestinya sebagai sesama bagi yang lain. Mari kita bermenung dan berintrospeksi bagi diri kita semoga dari hari ke hari kita semakin berani untuk menanggalkan diri kita dan menanamkan buda kasih bagi yang lain.

Selasa, 15 Juni 2010

Kepandaian tidak menjamin moralitas



Dalam perkembangan dunia dewasa ini, kepandaian atau kecerdasan intelektual memegang peranan penting. Perubahan dunia atau peradaban dari peramu, pemburu, petani, industri dan kini jaman pengetahuan. Banyak hal yang berubah entah dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, sesuatu yang buruk menjadi baik atau sebaliknya. Intinya bahwa dunia berubah dan penentu dari perubahan itu sebagian besar ada di tangan manusia.
Manusia yang adalah mahluk yang berakal budi dan berbudi pekerti menjadi alat kendali dari perubahan dunia ini. Semua perubahan yang ada atau sementara terjadi bisa terjadi karena kepandaian manusia. Dengan kepandaiannya manusia menemukan tata surya, ilmu telekomunikasi, alat-alat produksi, medis dan lain sebagainya. Karena kepandaian manusialah, dunia yang begitu luas menjadi sempit dan kecil. Kini dalam hitungan menit atau bahkan detik, kita dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di belahan dunia lain. Namun ternyata kepandaian bukan menjadi jaminan bagi suatu moralitas dari suatu bangsa, kelompok, keluarga atau pribadi. Korupsi, perselingkuhan, cinta diri, kesombongan, kebohongan dan lain sebagainya masih tetap ada dan terus terjadi.
Kejahatan manusia sudah ada sejak jaman Adam tetapi sampai hari ini pun, ketika manusia sudah dikatakan memiliki “peradaban” kejahatan itu masih tetap meraja lela. Kemajuan dan perkembangan yang telah dialami oleh bangsa manusia ternyata tidak dengan sendirinya menghilangkan kecenderungan naluriah manusia. Jadi mungkin kita dapat katakan bahwa kepandaian dan pengetahuan manusia itu bukanlah suatu jaminan bagi baik buruknya suatu moralitas bangsa, kelompok, atau pribadi. Kecerdasan dan kepandaian bukan menjadi ukuran seseorang bermoral atau tidak. Bermoral atau tidaknya seseorang itu sangat tergantung dari pilihan pribadi. Pribadi yang memiliki kematangan emosional dan spiritual dan dengan sadar, tau dan mau secara terus menerus berproses.
Tentu pernyataan di atas masih belum kuat untuk mengatakan bahwa pengetahuan dan intelektual itu tidak mempunyai dampak bagi moralitas pribadi, kelompok maupun suatu bangsa. Dan tentu juga tulisan ini tidak bermaksud untuk itu. Tidak bisa disangkal bahwa peradaban manusia dengan bertumbuhkembangnya pengetahuan dan teknologi turut mempengaruhi juga moralitas dari seseorang secara personal maupun komunal. Tetapi hal itu bukanlah satu-satunya dan bisa jadi pengetahuan dan kepandaian itu justru menjadi penghalang bagi pertumbuhan moralitas yang baik. Yang ingin saya katakana di sini adalah bahwa ketika kita mengagung-agunggkan intelektualitas dan melupakan aspek yang lain, maka kita sudah berada di jalur yang salah, karena intelektual bukanlah jaminan.

Minggu, 13 Juni 2010

Perasaan bisakan menjadi penentu sikap kita




Pada ungkapan di atas juga berlaku prinsip fleksibelitas. Fleksibel terhadap situasi, kondisi dan aspek-aspek yang melatarbelakanginya. Saat ini tentu kita tidak akan membahas hal itu, karena ketika kita memutuskan untuk masuk di dalamnya, banyak unsur atau aspek yang harus terus menerus kita gali dan akhirnya kita sulit untuk menentukan ujung dan pangkalnya. Tulisan ini hanya ingin mengungkapkan salah satu pandangan yang tentu masih bisa kita kembangkan dan diskusikan secara panjang lebar. Perasaan bisakah menjadi penentu sikap? Bisa saja, kenapa tidak. Ketika kita mengalami perasaan sedih, kita lalu menangis, ketika kita lapar kemudian kita makan dan lain sebagainya. Pada saat itu perasaan bisa menjadi penentu sikap kita. Dalam situasi lain, mungkin perasaan tidak dapat kita jadikan penentu bagi sikap dan tindakan kita. Misalnya kita memiliki pandangan bahwa si A adalah orang yang terhormat, baik hati, sederhana, ramah dan lain sebagainya. Jika pandangan itu kita dasarkan pada rasa suka, entah dengan keluarganya, karakternya, statusnya, rasa nyaman dan lain sebagainya, ketika si A kemudian berubah sikapnya dan tidak sesuai dengan harapan kita atau melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan dan menguntungkan kita, mungkin kita dapat 180 derajat membenci dia. Kita dapat saja menilai si A tanpa melakukan klarifikasi dan mencari informasi terlebih dahulu. Penilaian kita hanya didasarkan pada realitas yang tampak yang kemudian sebenarnya jika kita telusuri lebih dalam hal itu hanya didasarkan pada perasaan kita sendiri. Penilaian itu didasarkan pada suka atau tidak suka, menguntungkan atau tidak dan lain sebagainya. Dalam kasus ini perasaan tidak pas untuk dijadikan penentu bagi sikap dan tindakan kita. Mengapa dan apa alasanya perasaan tidak dapat dijadikan dasar penentu tindakan kita? Jawabannya kira-kira adalah karena kita mahluk yang luar biasa, yang diberikan hak istimewa untuk menggunakan akal budi kita untuk menafsirkan, mempertimbangkan dan memaknai banyak hal dalam peristiwa hidup kita. Jika kita hanya hidup dari perasaan atau rasa, apa bedanya kita dengan ciptaan yang lain misalnya binatang. Selain akal budi kita juga dikarunia hati nurani yang senantiasa memberikan atau membisikkan sesuatu yang baik bagi sikap dan hidup kita. Aspek-aspek itulah yang menjadi alasan mengapa perasaan tidak tepat atau istilah lain yang mungkin bisa kita pakai adalah perasaan bukanlah satu-satunya penentu bagi tindakan dan sikap kita. Mari kita syukuri karunia Tuhan dalam hidup kita dengan memanfaatkan secara maksimal aspek-aspek yang menjadi unsur keluhuran kita sebagai manusia. Janganlah kita merendahkan harkat dan martabat kita sendiri dengan melakukan sesuatu yang hanya didasarkan pada perasaan kita.

Jumat, 11 Juni 2010

Edelweiss



Pernahkah terlintas dibenak anda tentang bunga Edelweiss. Bunga Edelweiss juga disebut sebagai bunga abadi. Edelweiss disebut bunga abadi karena tahan lama bunganya, ndak pernah layu dll. Tapi bagaimana dan mengapa ya bunga Edelweiss ndak bisa layu? Kok ada sih bunga yang sifatnya abadi dan tak pernah layu? Ya tentu karena kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan dunia ini. Tapi temen-temen, aku punya dongeng nih, dongeng ing bercerita kenapa sih bunga Edelweiss menjadi seperti sekarang ini. Ini Cuma dongeng lo, yah untuk refresing sedikit biar ndak penat dan sedikit lepad dari rutinitas kita.

Pada jaman dahulu nih, hiduplah seorang peri salju. Peri Salju adalah peri yang paling cantik di seluruh dunia. Bertahun-tahun yang lalu, ia tinggal di pegunungan tinggi yang disebut Pegunungan Alpen. Dalam sebuah gua besar, di puncak pegunungan yang paling tinggi dan diselimuti salju abadi, di situlah istananya. Bagian dalam istananya serba putih. Ruang utama berdinding kaca dan terbuat dari papan-papan es yang dihaluskan. Satu bayangan akan terpantul ratusan kali, sehingga seolah-olah ada beratus-ratus orang berdiri di sana, meskipun sesungguhnya hanya ada satu. Suara-suara akan dipantulkan kembali oleh pilar-pilar yang membeku. Bergema, bersahutsahutan,….. mengerikan.Para pendaki gunung dan gembala kambing yang tinggal di lembah, rela mempertaruhkan nyawa untuk bisa melihat istana yang indah itu.Mereka yang beruntung dapat mengagumi istana serba putih yang menakjubkan itu. Tapi mereka yang sial, akan bertemu muka dengan peri salju sendiri. Peri salju ini begitu cantik, sehingga siapa pun yang melihatnya akan jatuh cinta kepadanya. Padahal, sebagai peri ia tak boleh menikah dengan manusia biasa.Hatinya terbuat dari es. Dingin, beku. Dia tak peduli apakah mereka yang datang ke istananya itu mengaguminya atau tidak. Dia suka sekali menyanyi. Suaranya merdu penuh pesona, bagaikan desah angin semilir di antara daundaun cemara. Jika peri salju mulai bosan dengan orang-orang yang mengaguminya, dia akan memanggil peri-peri karang gunung. Mereka akan muncul dari celah-celah karang dan mendorong para pengagum itu hingga jatuh terguling-guling sepanjang lereng gunung yang curam. Pada suatu hari, seorang pemburu yang tampan dan perkasa mendaki gunung itu. Dia mendengar suara merdu Peri Salju dihembus angin pegunungan. Dia tidak dapat menahan diri untuk tidak mencari sumber suara yang mempesona itu. Siapa gerangan yang tinggal di puncak gunung yang sunyi ini? Akhirnya dia sampai ke istana salju dan bertemu muka dengan Peri Salju. Pemburu itu langsung jatuh cinta, tapi karena merasa dirinya hina, dia tidak mau melahirkan perasaan. Pikirnya, wanita secantik itu tak mungkin tertarik pada pemburu miskin seperti dia. Sikapnya ini berbeda sekali dengan rayuan dan pujian yang biasa didengar oleh Peri Salju—karenanya dia justru tertarik pada pemuda pemburu itu. Yah, ……Peri Salju telah jatuh cinta. Pemuda itu diizinkannya tinggal di istananya. Para peri karang gunung melihat apa yang terjadi. Mereka mara-marah. Ratu Salju tidak boleh menikah dengan orang biasa. Mereka keluar dari celah-celah karang, menangkap si pemburu dan melemparkannya ke lembah. Pemburu miskin sepantasnya menikah dengan gadis dusun. Setiap kali pemburu itu berusaha mendaki kembali, peri-peri karang gunung mencegatnya dan melemparkannya ke lembah. Mereka melemparinya dengan batu. Mereka menggelindingkan bongkah-bongkah es. Peri-peri jahat itu selalu menggagalkan niat si pemuda untuk menemui Peri salju. Akhirnya, pemuda pemberani itu pun bosan mencoba. Cintanya pada Peri Salju meluntur. ”Aku menyia-nyiakan hidupku dengan memburu sesuatu yang takkan mungkin kudapat,” keluhnya. Akhirnya dia menikah dengan gadis petani. Dengan sia-sia, Peri Salju menantikan kedatangan kekasihnya. ”Dia takkan kembali,” kata peri-peri karang gunung menertawakannya. ”Bagimu itu lebih baik. Kau tak boleh menikah dengan manusia.” Bagaimanapun, hati beku Peri Salju telah mencair. Untuk pertama kalinya butir-butir air mata yang hangat menitik dari matanya yang indah. Mengalir di sela-sela karang dan berubah jadi bintangbintang perak. Sekarang kita mengenalnya sebagai bunga edelweiss, bunga yang paling indah yang tumbuh di Pegunungan Alpen.

Nah begitu ceritanya, jadi bunga abadi atau bunga Edelweiss itu adalah lambang dari cinta abadi sang peri salju. Cinta yang tulus dan murni kepada seseorang yang sungguh berarti dalam hidupnya tak kan pudar meskipun badai dan taufan menghantamnya. Jangankan itu waktu yang tidak dapat dihentikan saja, tak mampu menghentikan cinta sejati. Tubuh bisa dibatasi oleh sang waktu yang berujung kematian, tetapi cinta tetap kekal abadi. Tuhan adalah sumber cinta sejati, mari kita belajar darinya dan mencintai DIA, sesame dan terlebih orang-orang yang telah IA pilih sebagia pendamping hidup kita.

Rabu, 09 Juni 2010

Memori di "Gunung Sumbing"




Temen-temen......aku masih punya utang, karena aku belum naim Gungung Sindoro....Sindoro - Sumbing.....Tunggu aku di puncakmu...

“SANG PEMIMPI”



Film yang diangkat dari novel Andrea Hirata ini amat menarik. Film ini mampu memberi inspirasi dan motivasi kepada kita semua yang menyaksikannya. Jika mau dibandingin dengan membaca novel tulisannya Andrea Hirata sendiri sih, aku lebih suka, lebih tersentuh ketika baca sendiri buku itu. Kebetulan ke 4 novel itu aku sudah baca semua.

Apa yang ingin aku omongin di sini bukan masalah novel atau film itu, aku hanya ingin membicarakan sedikit tentang mimpi. Tentu kita semua sudah pernah bermimpi saat tidur malam atau siang hari. Aku juga percaya kita semua juga punya mimpi atau istilah yang biasa sih cita-cita. Biasanya sih cita-cita yang sekarang aku lebih suka bilang sebagai mimpi, kita jadikan bingkai dalam kehidupan kita. Apa yang kita buat, yang kita usahakan, itu semua terbingkai dalam satu mimpi. Atau mungkin juga bukan bingkai, mimpi itu suatu muara yang ingin kita tuju. Suatu akhir, anding yang ingin kita capai dalam kehidupan ini. Tapi mungkinkan mimpi itu berakhir? Mungkinkah mimpi itu bermuara? Jika kita tanyakan kepada Andrea Hirata, apakah dengan menulis Maryamah Karpov, berarti mimpinya sudah berakhir? Aku rasa tidak. Ketika kita berhasil meraih mimpi kita, saat itu jugalah awal dari mimpi kita. Sebuah ujung perjalanan akan terus menjadi awal dari perjalanan.

Dalam kehidupan ini kita tidak akan mencapai kesempurnaan, karena KESEMPURNAAN itu ada dalam DIA sumber kehidupan. Itulah kehidupan kawan. Dalam hidup kita harus berani bermimpi, agar kita terus berjuang dan berproses. Mungkin dari sebagian kita tidak setuju dengan statement tersebut, karena ada orang yang lebih suka easy going, mengalir bagaikan air. Hidup itu mengalir saja. Tentu dari masing-masing kita punya cara dan sarana yang berbeda untuk memaknai dan menjalani hidup ini. Apakah dari cara dan sarana yang ada ada yang lebih baik? Menurutku sih semua sama. Semua hal bisa baik dan juga bisa buruk. Sebilah pisau misalnya, jika ditangan ibuku maka pisau itu menjadi benda yang baik karena membantu ibuku memasak. Tetapi ketika pisau itu ada ditangan seorang penjahat, maka pisau itu menjadi sesuatu yang mengerikan dan menakutkan. Kehidupan itu kira-kira menurut saya juga demikian. Kehidupan akan menjadi berkat ketika kita maknai dengan baik dan benar, tetapi jika kehidupan itu kita gunakan dan manfaatkan dengan salah maka kehidupan itu menjadi kutuk bagi kita. So, bagaimana dengan hidup kita, apakah kita akan jadikan sebagai berkat baik bagi kita maupun orang lain, atau menjadi kutuk yang akan menyisakan penderitaan dan kesia-siaan.

KORUPSI bahaya LATEN



KORUPSI BAHAYA LATEN…..itu mungkin bukan hanya ungkapan lepas saja. Ketika kita mendengarkan, melihat dan membaca media masa yang beredar di sekitar kita, baik yang level nasional maupun lokal, kita akan menemukan dan menyaksikan bagaimana negara kita dipenuhi oleh “orang-orang” yang gila kekuasaan, jabatan dan harta. Dengan kedok ‘pangkat’ dan ‘jabatan’ mereka dengan tanpa malu-malu ‘memperkaya’ diri dan ‘mengagungkan’ diri. Apakah ada yang salah dengan realitas ini? Tentu ya! Tapi salahnya dimana dan separah apa? Mungkin akan muncul banyak sekali pendapat, tetapi menurut saya, sekali lagi menurut saya itu terjadi bukan hanya pada para pejabat dan pembesar negara kita. Korupsi itu sudah menjamur dan seolah-olah menjadi ‘budaya’ bangsa kita. Mengapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita tidak usah jauh-jauh dari lingkungan yang akrap dengan diri kita. Lingkungan sekolah. UAS atau UAN itu bukan istilah asing buat kita, dan seandainya di UAS atau pun di UAN itu ada kebocoran soal dan lain sebagainya itu juga bukan ‘sesuatu yang asing’ di telinga kita. Ini yang menjadi akar bertumbuhkembangnya KORUPSI di negara kita. Pendidikan yang ‘HANYA’ mengagung-agungkan intelektual. Kesuksesan siswa dan peserta didik hanya di ukur dari angka yang diperoleh di raport, nem dan ijasah. Oleh sebab itu, agar prestise dan nama baik sekolah terjaga indah dan megah, tanpa malu-malu ‘INSTITUSI PENDIDIKAN’ mengajarkan/menyajikan sesuatu yang tidak ‘LAYAK’ ada dalam ‘DUNIA PENDIDIKAN’. Mungkin kita lupa kalau pernah membaca, atau melupakannya, bahwa pendidikan itu bukan hanya IQ semata yang menjadi penting, tetapi EQ, SQ juga mutlak harus diajarkan.

Sekedar sharing pengalaman, dulu saat saya mengenyam pendidikan di bangku SD, SMP kebiasaan nyontek itu tidak ada, tetapi ketika aku duduk di bangku STM, saat itulah kebiasaan nyontekku lahir dan berkembang. Tapi syukur ketika aku masuk seminari kebiasan itu hilang hingga hari ini. Saya belajar apa dengan pengalaman itu? Ternyata menyontek itu SANGAT merugikan saya. Mengapa? Pertama, ketika saya memiliki kebiasan menyontek, saya kehilangan kepercayaan diri saya. Saya menjadi tidak percaya diri, meskipun mungkin soal itu saya tau jawabannya tapi tidak ada keberanian untuk menuliskannya dan harus melihat rujukan dari buku alias ‘contekan’. Kedua saya memiliki ketergantungan pada sesuatu yang ada di luar diri saya. Rasa aman dan nyaman bukan ada dan tercipta dari dalam diri tetapi dari luar diri saya, yakni catatan dan lain sebagainnya. Ketika, saya kehilangan motivasi dan inovasi dalam belajar. Kreatifitas beku dan pikiran buntu. Masih banyak lagi kerugian yang saya alami karena kebiasaan mencontek itu. Dan saya yakin, hal demikian sangat berpengaruh dengan karakter dan mentalitas kita. Pendidikan yang kita peroleh dan kebiasaan-kebiasaan itu memiliki dampak yang begitu besar dalam diri kita. Pertanyaan buat kita, apakah kita mau berproses dan mengolahnya. Atau kita justru menikmatinya, sehingga tidak heran sepintar apa pun orang itu, setenar apa pun dan sekaya apa pun, ketika seseorang diberi kekuasaan, jabatan dan ‘kesempatan’ orang lupa akan visi, misinya. Dan yang ada hanyalah dirinya dan keegoisannya. Itu mungkin, hanya akibat dari salah satu kebiasaan buruk masa lalu misalnya kebiasaan ‘nyontek’ bagaimana jika kita melihat lebih jauh dengan kebiasan ‘jual-beli nilai; ijasah; dan gelar?’ Mungkin kita sudah bisa membayangkannya……………..

Dalam buku A Road Map to Education, The Cre-Act Way; Suster Dorothy Prokes menekankan beberapa hal penting yang harus ada dalam dunia pendidikan. Beberapa hal tersebut adalah Self Image; Membangun “peran”; Child Center; dan mengajarkan kepada anak-anak bagaimana mereka harus belajar. Berkaitan dengan fenomena di atas, tentu image public sangat berpengaruh bagi pertumbuhan generasi kita. Ketika hiruk-pikuk dan keramaian orang-orang dewasa yang memperebutkan kursi dan jabatan, kemudian di sisi lain kita akan menyadarkan ‘peran’ peserta didik bahwa semua dari kita punya peran yang sama. Sebagai petani, pedagang, wirausaha dan lain sebagainya. Ketika gengsi, prestise diukur dari seberapa banyak kekayaan atau materi yang tampak. Realitas demikian menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan kita. Menciptakan generasi-generasi yang menyukai sains, menciptakan penemuan-penemuan, riset-riset dan lain sebagainya. Generasi yang tercipta kebanyakan “hanya” mencari “gelar” di belakang namanya atau di depan nama indah mereka Dr, Profesor, Ir, M.Pd, SE.Ak dan lain sebagainya. Dengan embel-embel di depan nama atau di belakang nama itulah orang akan dihargai perkataanya, tenaganya, atau secara kasar orang akan dihargai dengan “uang” karena embel-embel itu. Tentu itu realitas yang wajar, menjadi tidak wajar ketika hal itu justru menjadi satu-satunya tolak ukur dan melupakan esensi yang sesunggunya.

Siapa pun kita, saya dan anda mungkin terlibat di dalam terciptanya realitas yang menimpa bangsa kita. Lalu bagaimana cara kita untuk merubah atau bahkan mengubah realitas tersebut. Mari kita berangan-angan, berandai-andai dan bercita-cita agar dunia kita, terutama Negara kita, daerah kita, keluarga kita dapat berubah. Tetapi semuanya itu hanya akan menjadi sebuah harapan, suatu angan-angan, dan sebuah cita-cita ketika kita tidak berani memulai perubahan itu dari diri kita sendiri. Mari berjuang……………………..

Selasa, 08 Juni 2010

Eeee....EMOSI...


Kata ini berasal dari bahasa apa dan termasuk dalam bidang ilmu apa, dalam tulisan ini tidak penting. Yang penting adalah emosi ini ada dalam diri manusia. Manusia apa saja yang tua atau muda, yang terdidik atau gelandangan, seorang awam atau rohaniwan, cantik atau jelek, miskin atau pun kaya. Emosi tidak mengenal itu semua. Ia ada dalam diri kita. Ini yang sering kurang kita sadari. Sepintar seperti apa pun, sekaya seperti apa pun, dan sesuci seperti apa pun semua akan mengalami bagaimana emosi itu ada di dalam pribadi manusia. Banyak hal menjadi kunci sebuah keberhasilan hidup, tetapi ketika hal itu (emosi) ini diabaikan, maka segala-galanya bisa hilang begitu saja. Misalnya seorang yang pandai, berwibawa, terhormat karena kedudukannya, disegani dan lain sebagainya, tetapi karena satu atau dua peristiwa yang membuat emosinya mencuat dan ia tidak mampu mengendalikannya dan emosi itu meledak-ledak dengan cara yang tidak rasional, maka yang dulu indah (pandai, berwibawa dan lain-lain) akan hilang begitu saja. Orang lain tidak akan lagi percaya dan kagum dengan banyak hal yang luar biasa karena ia tidak mampu menguasai emosinya. Hal yang sederhana dan mungkin juga tidak adil, karena hanya oleh satu faktor, yakni emosi, faktor yang lain dilupakan. Mungkin pertimbangan itu benar, tetapi mungkin juga salah. Hal itu bisa lebih di dalami dengan menganalisa sebabnya, lingkungannya dan lain sebagainya. Namun sekali lagi dalam tulisan ini kita tidak akan memperdebatkan hal-hal di atas. Tulisan ini ingin mengajak kita semua untuk memberi perhatian serius dalam pengolahan emosi. Istilah yang popular kita diharapkan memiliki emotional question (EQ) atau kecerdasan emosi yang baik. Jadi yang penting dalam kehidupan ini bukan hanya IQ, tetapi juga unsur kecerdasan yang lain juga memiliki andil besar dalam menentukan kesuksesan hidup kita yang akan datang. Pertanyaan selanjutnya untuk kita adalah apakah hal itu mendesak atau penting bagi kita? Seberapa besar perhatian kita untuk kehidupan kita sendiri dalam hal ini kesuksesan hidup kita. Mari kita sadari bahwa kita butuh berkembang dan itu bukan datang dengan sendirinya. Kita harus berjuang dan berproses dari hari ke hari.

Per-SAHABAT-an



Kata itu menjadi sebuah kata yang manis, karena kata itu mengingatkan dan memunculkan banyak sosok yang pernah ikut bersama-sama dengan kita menorehkan tinta kehidupan dalam nurani kita. Goresan tinta itu ada yang pahit, getir, senang, gembira dan banyak lagi. Kata sahabat sungguh menguatkan, melegakan dan sangat memberi penghiburan. Namun ternyata sahabat tak selamanya sahabat. Sahabat menjadi bukan sahabat ketika kekuasaan menyelubinginya. Sahabat bukan menjadi sahabat ketika ego dan kepentingan diri di atas segala-galanya. Sahabat tidak lagi menjadi sahabat ketika harga diri, gengsi dan ambisi terabaikan. Apakah sedemikian persahabatan itu? Sedangkal itukah fondasi dari sebuah relasi yang berlabel “sahabat”.
Ketika muncul pikiran dan pertanyaan itu, mungkin kita mempunyai segudang asumsi, argumentasi, opini atau apa pun namanya yang dapat kita tangkap dan terima dengan otak dan akal budi kita. Mungkin kita bisa katakana tergantung orangnya, jenis persahabatannya, motivasinya, latar belakangnya dan lain sebagainya. Tapi jika mau disimpulkan atau kita paksa untuk menarik kesimpulan dari realitas itu, maka tidak semua persahabatan demikian. Dan mungkin kita dapat meninjau kembali keputusan kita masing-masing ketika hendak memberikan label sahabat kepada seseorang yang kita kenal. Seberapa lama kita kenal, seberapa cocok kita dengannya, seberapa menguntungkan dan lain sebagainya. Sahabat tidak tergantung dari alasan-alasan di atas. Persahabatan sangat tergantung dari seberapa lebar hati terbuka menerima sesama, seberapa dalam dan terbukanya hati untuk berani mengungkapkan diri, seberapa tulus hati kita menyapa sesama dan yang penting adalah seberapa kita percaya dan mempercayakan diri kepada sesama kita yang kita “jadikan” sebagai seorang sahabat.

Senin, 07 Juni 2010

Siapakah Aku


Mungkin pertanyaan ini adalah jenis pertanyaan yang jarang kita pakai dalam kehidupan kita. Sebuah pertanyaan yang akan selalu kita coba hindari. Atau seandainya kita gunakanpun, itu karena ada maksud dan tujuan tertentu. Untuk merasa rendah dan mengambil perhatian, untuk menyombongkan diri dan merendahkan yang lain dan lain sebagainya.
Pertanyaan ini sebenarnya mengajak kita untuk bercermin terhadap diri kita sendiri. Pertanyaan ini mengajak kita untuk masuk ke dalam kedalaman diri kita, sebelum kita memberikan penilaian kepada orang lain. Pertanyaan ini juga mengingatkan kita bahwa kita manusia tidak sempurna, sehingga kita harus mawas diri dan introspeksi secara terus menerus, sehingga kita tidak kemudian tampil sebagai hakim bagi yang lain. Menjadi Pilatus-pilatus masa kini yang menjatuhkan hukuman kepada sesama hanya karena “ketakutan” diri kita sendiri. Takut tidak terhormat, takut ikut tercemar, takut kehilangan status dan kedudukan, takut dicap membangkang dan lain sebagainya.
Pertanyaan itu juga mengingatkan kita untuk konsisten pada pertumbuhan diri kita. Sebuah pertanyaan yang menjadi kekang kendali bagi ambisi, emosi, gengsi dan harga diri kita. Pertanyaan yang mengajak kita untuk menyadari diri bahwa kita adalah abu di hadapan Sang Pencipta. Kita hanya salah satu dari sekian besar dan kayanya ciptaan Tuhan. Dia yang menciptakan yang besar dan kaya itu pun tidak pernah menghakimi dan memberikan “label” pada ciptaan-Nya, apalagi kita. Ia mengatakan bahwa segala ciptaan adalah baik adanya. Apakah kita berhak menghakimi dan menilai sesama dengan label-label yang mendeskriditkan sesama kita? Siapakah aku ini, sehingga aku menjadi hakim bagi yang lain?

Ibu. . .ku



Ibu, bukan emas atau permata yang engaku inginkan dari kami anak-anakmu. Engkau hanya ingin melihat kami bahagian dalam hidup kami. Engkau rela berkorban demi kehidupan masa depan kami. Siang malam engkau mencari nafkah, untuk menafkahi kami. Engkau setiap bagi buta tanpa lelah mengayuh sepedahmu untuk menuju pasar. Menjari dagangan dan menjual daganganmu. Malamnya engaku masih harus kembali mengayuh sepdahmu, berkeliling mencari tempat-tempat dimana ada hiburan malam. Di sana engkau kembali menjajakan daganganmu. Buah-buahan segar, apel, jeruk, salak, kacang rebus dan lain sebagainya. Semalam suntuk engkau membiarkan matamu terjaga demi kami anak-anakmu. Ibu, maafkan aku yang sering tidak mampu berterima kasih dengan semua jerih payahmu. Sering ketika engkau lelah pulang dari pasar atau berjualan, bukan senyum dan ciuman hangat dari kami anak-anakmu yang engkau dapat. Maafkan kami ibu yang terlalu egois dengan diri kami masing-masing. Karena keegoisan itu, mata hati kami buta terhadap kasih sayangmu yang besar. Ibu cintamu sungguh tulus bagi kami, terima kasih untuk semuanya itu.

Siang ini seperti halnya perasaanku terhadap bapak, aku juga punya perasaan yang sama kepada ibu. Aku kangen kamu bu…aku ingin memelukmu seerat mungkin. Aku ingin menciummu. Aku ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya buat ibu, yang telah mempertaruhkan nyamu bagi kami anak-anakmu. Ibu aku juga tau pasti ibu tidak sempat membaca tulisan ini, tapi tidak apa-apa. Aku yakin ibu sudah mendengarkanku dan telah memaafkan aku seperti bapak. Ibu tulisan ini juga tentu tidak dapat mewakili semua perasaanku. Ini hanya sebagian kecil dari perasaanku yang menjadi wakil perasaanku siang ini. Tapi bu, mungkin bukan banyaknya kata atau tulisan yang penting, tapi ketulusan hati dan keiklasan diriku untuk meminta maaf kepadamu ibu. Ibu maafkan aku, terima kasih untuk cintamu….aku menyayangimu ibu…

Bapak. . . ku



Ketika siang ini aku melihat foto-foto yang ada di note bookku, mataku terhenti pada sosok sederhana yang ada dihadapanku. Ia tidak banyak bicara dan bahkan diam seribu bahasa. Tidak heran karena itu adalah foto bapakku. Tapi memang sih meskipun itu asli dia, kita akan jarang mendengarkan suaranya. Ia banyak diam, meskipun sebenarnya enak juga diajak ngobrol. Dia bicara seperlunya, dan ndak mau bicara yang bukan-bukan. Banyak peristiwa suka duka aku alami bersama dia. Tapi sayangnya saat itu aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Aku sangat jarang memberikan ruang dan waktuku untuknya. Melihat sikap dan tindakanku yang seperti itu ia pun tak pernah marah, ia sabar dan tidak pernah menyimpan kesalahanku maupun saudara-saudaraku.

Pernah satu saat ketika aku sementara mengayuh sepedahku sepulang dari sekolah, saat itu aku SMP kelas 2. Memasuki kampungku, orang-orang disepanjang jalan langsung berteriak-teriak ketika melihat aku, “Wid, bapaku jatuh dari pohon, cepet pulang”. Saat itu aku merasakan perasaan campur aduk, dan kalo disuruh mendeskripsikan perasaan itu aku yakin aku tak sanggup. Dengan perasaan kacau, aku langsung mempercepat mengayuh pedal sepedaku. Sesampainya di rumah, kerumunan orang banyak memenuhi pelataran dan rumahku. Aku langsung menghambur masuk keruangan depan di mana bapakku dibaringkan. Saat itu aku tak kuasa membendung air mataku. Aku melihat sosok sederhana itu terbaring dilantai. Tidak bisa bergerak, berbicara dan…ahhhhh…sungguh perasaan sedih yang mendalam aku rasakan. Beberapa bulan aku bersama keluargaku yang lain merawat bapakku. Ia tidak bisa bergerak dan menggerakkan tubuhnya, sehingga ia makan di situ, kencing di situ, be ol di situ……….. Aku sering tersenyum di dekatnya sambil mengelus-elus tubuhnya, tetapi tidak lama waktu berselang aku langsung lari kekamar dan mencurkan air mataku. Aku tak mau ia melihat air mataku, karena air mata justru akan semakin membuat dia menderita. Aku tersenyum di atas tangisan.

Siang ini aku merindukan sosok itu, aku ingin memeluknya dan menciumnya. Aku ingin mengucapkan kata terima kasih dan permintaan maafku atas sikap dan perbuatanku selama ini. Aku kangen bapak. Aku yakin ia sudah memaafkan aku. Meskipun tulisan ini pasti tidak sempat ia baca, karena selama ini ia belum pernah buka internet. Jangankan internet, komputerpun belum pernah. Tapi aku bangga padamu bapak, aku menyayangimu pak. Hidupmu dan sikap diamu sudah mengajarku banyak hal. Bapak, tulisan ini pasti tidak bisa mewakili semua apa yang ada dibenakku, tapi setidaknya tulisan yang singkat ini aku tulis dengan tulus hati. Terima kasih bapak…..aku menyayangimu.

Minggu, 06 Juni 2010

“Ada apa dengan ‘DUNIA PENDIDIKAN’ kita…”



Jules Michelet, sejarawan terkenal berkebangsaan Perancis yang hidup pada abad ke-19 pernah berkata, “ Apa bagian pertama dari politik? Pendidikan. Bagian keduanya? Pendidikan. Dan yang ketiga? Pendidikan”. Lebih dari seratus tahun kemudian hal serupa kembali diungkapkan oleh Tony Blair, Perdana Menteri Inggris pada periode 1997-2007, “Tanyakan kepada saya tiga prioritas utama pemerintah, dan akan saya katakan: pendidikan, pendidikan, dan pendidikan”. (Mezak A. Ratag & Ronald Korompis, Kurikulum Berbasis Kehidupan. Pandangan tentang Pendidikan menurut Ronald Korompis (Bandung: ITB Press, 2009), hlm. 1.

Dua pernyataan tokoh di atas mungkin bisa kita iyakan atau kita tolak, tetapi sejauh pengalaman saya apa yang diungkapkan di atas adalah benar. Namun kita dapat bertanya lebih dalam lagi, pendidikan yang seperti apa dulu? Itu benar, kita bisa dan boleh bertanya demikian, tetapi pendidikan yang dimaksud pasti kurang lebihnya sama dengan yang kita pahami dan mengerti. Pendidikan adalah sarana bagi kita untuk berproses menjadikan diri kita semakin mampu mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri kita, baik secara fisik, psikis, emosi dan secara spiritual. Saya merasa itulah tujuan pendidikan. Jika kita pernah dengar filosofi orang Minahasa Si Tou Timou Tumou Tou, itulah hakikat dari pendidikan. Memanusiakan manusia. Kata yang sangat singkat itu sungguh punya makna yang dalam, memanusiakan manusia. Mungkin dari pernyataan itu pun kita bisa bertanya manusia yang bagaimana dan seperti apa? Pertanyaan yang mungkin bisa kita jawab tetapi juga mungkin sulit untuk kita jawab. Setiap orang yang memiliki latar belakang yang berbeda karakter, watak, sifat; beda budaya, suku; berbeda generasi, jaman, dan lain sebagianya; pasti mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Jika yang di tanya itu orang di era 70-an dan kemudian berasal dari suku Jawa misalnya, mungkin ia akan menjawab bahwa manusia menjadi semakin manusia jika dia punya tata krama, sopan santun, unggah ungguh dan lain sebagainya. Dan jawaban yang berbeda pasti akan diberikan oleh orang yang hidup di era 2000-an. Entah apa pun pernyataan atau pengertiannya mungkin kita bisa sepakat bahwa maksud atau tujuan dari memanusiakan manusia itu adalah menjadikan manusia atau hidup manusia semakin baik dan benar. Jika hanya ‘baik’ mungkin kita bisa bertanya lagi baik menurut siapa, karena kebaikan itu juga relative. Tapi benar atau kebenaran adalah mutlak.

Pendidikan juga hendaknya didasarkan pada kebaikan dan kebenaran. Apa yang kita ajarkan, yang kita bagikan, yang kita tunjukkan adalah kebenaran semata. Kebenaran bukan ‘hanya’ dalam tataran konsep tetapi kebenaran konkrit yang kita tunjukkan dalam sikap, tindakan, perkataan dan kehidupan kita sendiri. Keteladanan hidup menjadi tuntutan. Hal ini tentu tidak asing ditelinga kita, karena kita sering mendengar kata ‘GuRu’, di GUgu (dipercaya) dan di tiRU (dicontoh;diteladani). Ini mungkin slogan yang akrap ditelinga kita tapi tidak akrap di mata kita. Apakah ini juga yang menjadi alasan mengapa pertanyaan di atas muncul? Ada apa dengan dunia pendidikan kita? Mungkin menjadi salah satu aspek iya, tetapi tentu bukan hanya itu. Pada tanggal 31 Mei 2010 yang lalu, saya bersama karyawan-karyawati Yayasan Pendidikan Lokon mengadakan pertemuan rutin dengan Ketua Umum Yayasan Pendidikan Lokon. Salah satu topik pertemuan itu adalah rencana untuk membangun Sekolah Menengah Pertama (SMP). Gagasan atau topik itu sudah tidak asing lagi bagi kami, karena itu juga menjadi cita-cita kami Yayasan Pendidikan Lokon yakni membangun pendidikan berjenjang dari Pra TK, TK, SD, SMP dan SMA. Hal yang menarik bagi saya, yang diungkapkan oleh Bapak Ronald Korompis selaku Ketua Umum YPL adalah analisa Beliau tentang pertanyaan, sebenarnya pendidikan di Indonesia ini salahnya di mana? Jika ditinjau dari Tata Negara kita adalah Negara terkaya kedua setelah Brazil; setiap tahunnya kita menelorkan S1, S2 dan S3 ratusan bahkan mungkin jutaan. Tetapi setelah 64 tahun Negara kita tetap menjadi Negara miskin. Bagaimana tidak, ketika seseorang memperoleh jabatan dan kedudukan, entah dia S1, S2 dan S3 baik dari Perguruan tinggi dalam maupun luar negeri, mereka lupa akan tujuan bersama (bonum commune) dan mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang egois. Ada apa dengan pendidikan kita? Kesalahan pendidikan kita bukan terletak pada Perguruan Tinggi, tetapi terletak pada pendidikan dasar dan menengah. Mengapa? Karena di sanalah pembangunan karakter, ahklak, moral, spiritual dan semuanya ditanamkan. Pendidikan integral holistik (pendidikan yang memberi perhatian pada seluruh aspek kemanusiaan, kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual) adalah mutlak.

Jika demikian mungkin kita bisa melihat atau membandingkan dengan realitas pendidikan kita sekarang ini. Pendidikan dasar dan menengah kita apakah sudah memberi penekanan pada keseluruhan aspek dari kehidupan manusia. Ketika lulus Ujian Negara (UN) menjadi tolak ukur keberhasilan dari siswa-siswi, apakah pendidikan yang demikian yang kita cari dan kita pilih sebagai sarana ‘memanusiakan manusia’? Ini menjadi Pekerjaan Rumah kita bersama. Mari kita benahi pendidikan kita.

Jumat, 04 Juni 2010

Graduation Day



Saat itu 25 Mei 2010 sungguh bagiku adalah pengalaman yang mengesankan. Kendati aku “hanya” hadir sebagai anggota keluarga Yayasan Pendidikan Lokon, tapi aku merasa turut dalam suka cita itu. Aku benar-benar merasa ada di dalamnya. 90 Siswa-siswi SMA Lokon berhasil menyelesaikan studinya dan berhasil lulus dalam ujian nasional. Sungguh suatu suasana yang mengharukan. Banyak hal dan peristiwa yang bagiku menjadi sumber inspirasi. Dari peristiwa hari itu aku merasa banyak kesan yang aku tangkap. Suasana kekeluargaan, ucapan syukur yang mendalam, ucapan terima kasih, permintaan maaf dan lain sebagainya.
Sungguh suasana yang mengharukan, ketika siswa-siswi menyanyikan Hymne Guru, aku merinding. Lagu itu mengajakku untuk kembali mengenang jasa dan campur tanggan mereka dalam kehidupanku. Guru SD ku SD N 9 Waringin Sari Timur, Pak Bandi, Pak Untung, Pak Wito, Ibu Sutilah, Pak Ratin, Pak Taryat, Pak Sutek. Aku juga mengenang guru-guruku di SMP, Ibu Nining, Ibu Suti, Pak Bambang, Pak Paryo, Pak Budi, Pak Warno, Pak Kamto, Ibu Pur, Ibu Murni, Pak Eko, Pak Lilik. Aku juga mengenang guru-guru STMku, Pak Yohanes Purba, Pak Remington Pane, Pak Purwo, yah….maafkan aku guru-guruku, karena aku banyak yang lupa nama kalian. Guruku di Seminari Palembang, Ibu Jamilus, Pak Gito, Pastor Titus, Pastor Astono, Pastor Vincen, Pak Eka, Pastor Colvenbah, Pastor Kusmaryanto, Romo Abdi, Romo Samiran, Pastor Amirulah. Dosen-dosenku di Seminari Tinggi, dan mereka semua yang telah berbaik hati menempaku dan membinaku sehingga aku bisa menjadi seperti sekarang ini. Terima kasih guruku.
Setelah lagu yang mengharu-biru itu selesai, kembali lagi aku dibawa kembali kemasa laluku. Ketika ke 90 siswa-siswi itu maju dan ada salah satu siswi berpuisi sebagai ungkapan terima kasih mereka kepada mama dan papa. Dua sosok yang memiliki andil paling besar dalam kehidupan kita. Karena merekalah kita bisa ada di dunia ini. Saat puisi itu mengalun lembut, serasa hatiku pun terbawa alunan puisi itu. Aku menitikkan air mataku mengingat begitu besar cinta dan kasih sayang yang telah aku peroleh dari mama papaku. Mereka bekerja keras membanting tulang siang dan malam. Mereka tak mempedulikan kulit mereka hangus oleh sengatan matahari. Mereka tak peduli ketika aku, kakak dan adikku lupa berterima kasih atas semua cinta itu. Mereka tak membenci ketika kami mengecewakan dan membuat susah mereka. Oh ibu terima kasih untuk cintamu. Oh ayah terima kasih atas cintamu. Oh Tuhan terima kasih atas kasihmu melalui kehadiran kedua orang tuaku.
Terima kasih Tuhan atas waktu teduh itu, semoga aku semakin mampu bersyukur atas segala hal yang terjadi dalam kehidupanku.

Untuk Apa Kita Hidup


Apakah dalam kehidupan kita, kita pernah bertanya untuk apa kita hidup? Mungkin kita harus jujur pertanyaan itu ada dan pernah kita tanyakan, tapi apakah itu kita renungkan secara sungguh? Sering tidak, kita bertanya untuk apa kita hidup sering hanya sebuah ungkapan lepas, hanya berupa keluhan atau sebuah pertanyaan retorik semata. Pertanyaan yang kita lontarkan tapi tidak pernah kita jawab apalagi kita tanggapi dalam kehidupan kita (Kebanyakan orang).
Pertanyaan untuk apa kita hidup sangatlah penting, karena di balik pertanyaan itu memuat visi, misi dan tujuan hidup kita. Kita bisa bayangkan seandainya hidup tidak mempunyai tujuan, kita ibarat kapal yang tidak dikemudikan. Kita akan berputar dan hanya sekedar mengikuti arah angin. Jika demikian bermaknakah hidup kita? Pertanyaan yang sulit untuk kita jawab, atau bahkan enggan untuk kita tanyakan kepada diri kita. Mungkin kita malas membahasnya, mungkin kita tidak mampu menerima realitas, atau mungkin kita merasa cukup menikmati hidup saat ini saja. Nyaman dengan situasi dan kondisi kita, kita enggan untuk keluar dari zona tersebut. Toh seandainya kita keluar dari zona itu siapa yang peduli, hidup-hidup kita dan banyak hal bisa kita jadikan alasan untuk mengatakan bahwa apa yang kita jalani hari ini sudah benar. Pernyataan semacam inilah yang sering kali menumpulkan perasaan dan hati kita. Kita tidak lagi peduli dengan kehidupan masa depan kita. Kehidupan kita entah berkembang atau tidak, maju atau mandek itu tidak penting lagi.
Kehidupan pada dasarnya adalah rahmat, tetapi rahmat itu akan menjadi berkat atau kutuk itu sangat tergantung dari pilihan kita masing-masing. Jadi walaupun hidup itu rahmat, itu bukan jaminan karena hakikatnya hidup adalalah pilihan kita. Selamat memilih.

R.I.P

Requiem In Pacem, beristirahat dalam damai itu kira-kira arti dari sepenggal bahasa Latin di depan kalimat ini. Mengapa kalimat itu tiba-tiba mencuat dalam benakku pagi ini kawan? Apakah kira-kira kalian tau? Mungkin saudaramu, temanmu, sahabatmu atau apamu meninggal. Bisa jadi. Mungkin kamu mengalami, melihat, menyaksikan peristiwa kematian. Bisa jadi. Mungkin kamu sementara merenung tentang kematian. Bisa jadi. Semua pernyataan itu mungkin saja terjadi, tapi saat ini bukan karena semuanya itu kemudian aku memikirkan hal ini. Awalnya karena pagi ini aku membaca status di facebook salah satu temanku. Status yang berisi keputus-asaan dan keinginan untuk menjemput saat itu. Banyak hal yang mungkin menjadi penyebab sehingga dia berpikir lebih baik mati dari pada hidup di dunia ini. Singkat kata, lebih cepat lebih baik. Kalimat itu mungkin bisa menjadi kesimpulan perasaan seseorang yang menantikan saat itu. R.I.P terkadang menjadi sebuah harapan karena hal itu menjadi pintu kebebasan jiwa kita dari tubuh yang selama ini membelenggu. Jiwa yang terkekang bertahun-tahun dengan kelemahan sang daging lepas bebas. Alangkah indahnya. R.I.P terkadang menjadi suatu momok yang menakutkan karena saat itu kita akan menyaksikan raga kita ditenggelamkan ke dalam perut bumi dan menjadi santapan cacing, yang tidak segan-segan melahab tubuh kita dan hanya menyisakan tulang-tulang saja. Dari kedua sikap tersebut, tentu kita bisa menilai bahwa R.I.P menjadi sesuatu yang dualisme, satu sisi ada harapan dan satu sisi menjadi ancaman. Jika demikian bagaimana? Sejauh pengalaman dan pemahamanku, segala sesuatu itu netral termasuk peristiwa kematian. Semua hal di luar diri kita adalah netral. Bukan jelek atau indah, bukan jahat atau baik, tetapi semuanya itu ada di posisi yang sama, netral. Misalnya sebilah pisau, kita bisa katakan itu berharga ketika pisau itu ditangan seorang dokter bedah yang sementara mengoperasi seorang pasien dan menyelamatkan nyawa seseorang dari mara bahaya. Sebaliknya pisau itu menjadi tidak berharga dan sesuatu benda yang menakutkan ketika ada ditangan seorang penjahat. Jadi seperti halnya sebilah pisau, kematianpun demikian. R.I.P adalah harapan kita, beristirahat dalam damai. Menjadi damai jika kita sungguh-sungguh siap untuk menerima kenyataan itu dengan tulus dan iklas. Menjadi damai ketika kita menginginkannya tanpa keputus-asaan tetapi karena kerinduan kita untuk bersatu dengan-NYA. Menjadi damai ketika hal itu kita inginkan bukan karena kejenuhan hidup dan menjadi jalan pelarian dari beban dan penderitaan hidup kita. . . . . . . mari kita merubah cara pandang kita agar apapun yang ada baik di luar diri kita maupun di dalam diri kita mampu menjadi sarana bagi kita untuk bertumbuh dan berkembang….entah secara fisik, secara emosi, secara psikis maupun secara spiritual… (*Catatan ini kutulis buat kita semua, karena kita semua akan mengalami hal yang sama…….K.E.M.A.T.I.A.N…………)

Kamis, 03 Juni 2010

Observatorium Astronomi SMA Lokon



Pada tanggal 7 Mei 2010 yang lalu kami mengadakan press realise berkaitan dengan kesuksesan salah satu murid SMA Lokon dalam Olimpiade Fisika tingkat Asia (APhO) ke-11 di Taipeh pada April 2010. Christian George Emor anak dari Ir. Johni Emor dan drg. Engni Lostisna ini berhasil meraih medali perunggu. Saat ini dia sementara mengikuti persiapan untuk berangkat mewakili Indonesia dalam Olimpiade Fisika Internasional ke-41 di Zagreb, Kroasia 17-25 Juli 2010. Selain keberhasilan dari siswa SMA Lokon, saat itu menjadi kesempatan juga bagi SMA Lokon untuk menginformasikan bahwa untuk mewujudkan cita-cita pendidikan dan semakin meningkatkan kwalitas peserta didik maka SMA Lokon membangun sebuah Observatorium Astronomi yang dibangun di atas lahan 9x9 meter dengan 3 lantai. Lantai paling bawah dapat dijumpai simulasi sitem tata surya yang dapat menampilkan model gerakan planet-planet serta sistem gerhana matahari dan bulan. Pada lantai dua terdapat komputer berlayar 'big screen' yang dihubungkan langsung dengan Server/Komputer Teleskop Satelit Hubble milik NASA-America Serikat. Keindahan dan kekayaan jagad raya dapat kita saksikan langsung tanpa terhalang oleh atmosfer bumi melalui teleskop Hubble. Kemudian pada lantai paling atas terdapat ruangan berupa kubah yang didalamnya terdapat teleskop Meade lx200, sehingga kita dapat melihat benda-benda langit dari bumi melalui teleskop tersebut. Menurut pemaparan Prof. Dr. Mezak A. Ratak, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Yayasan Pendidikan Lokon, observatorium tersebut juga akan dibuka untuk umum. Selain sarana dan prasarana yang dikembangkan secara terus menerus, Yayasan Pendidikan Lokon juga akan mengembangkan pendidikan berjenjang dari pra TK sampai dengan SMA. Hal itu penting demi kesinambungan pendidikan peserta didik. Dengan Kurikulum Berbasis Kehidupan yang telah diterapkan di SMA Lokon, kurikulum itu juga yang akan diterapkan di pra TK dan jenjang-jenjang pendidikan berikutnya. Semoga perkembangan ini menjadi harapan baru bagi kita bagi dunia pendidikan di Indonesia khususnya di Indonesia bagian Timur ini.